Hari ini, 4 September, diperingati sebagai hari solidaritas hijab sedunia. Di mana perempuan-perempuan Muslim di seluruh dunia merayakan kebanggaan dan kebebasan mereka mengenakan hijab—simbol bagi identitas keislaman yang berpijar dari dada-dada iman mereka. Bukan hanya itu, perayaan ini sekaligus merupakan pernyataan bagi siapa saja yang berdiri di atas muka bumi bahwa: Kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah hak yang tak tertolak, bahkan harus dilindungi dan diperjuangkan.
Hari ini, 4 September, diperingati sebagai hari solidaritas hijab sedunia, paling tidak untuk mengingatkan kita pada dua peristiwa. Pertama, pada 4 September 2002, pemerintah Perancis pertama kali melarang perempuan Muslim untuk mengenakan hijab ke sekolah dan universitas. Otoritas pemerintah Perancis, termasuk polisi, menghentikan perempuan-perempuan Muslim berhijab di depan gerbang sekolah atau kampus, lalu memaksa mereka menanggalkan hijab atau meninggalkan sekolah. Tentu saja ini melukai hak-hak kebebasan beragama, maka kebijakan tersebut segera menjadi tidak populer dan menjadikan Prancis dikecam sebagai negara yang rasis. Hampir seluruh dunia mengutuk kebijakan ini, terutama negara-negara Islam dan negara berpenduduk mayoritas Muslim. Tidak kurang dari 35 negara secara resmi mengutuk kebijakan tersebut dan menggelar solidaritas bagi kebebasan perempuan Muslim mengenakan hijab di manapun di seluruh dunia.
Dua tahun berselang, setelah gelombang kecaman membomardir Perancis, kebijakan itu dicabut secara resmi oleh pemerintah Perancis. Maka 4 September 2004 menjadi hari bersejarah di mana perempuan-perempuan Muslim Perancis bisa memasuki sekolah dan kampus kembali dengan mengenakan hijab. Seluruh dunia berbahagia dan merayakannya.
Kedua, hari solidaritas hijab sedunia didedikasikan untuk seorang martir Muslimah keturunan Mesir, Marwa El-Sherbini. Marwa meninggal setelah ditikam sebanyak 18 kali oleh seorang rasis-islamofobik keturunan Rusia bernama Axel W di ruang sidang Dresden, Jerman. Ketika itu, Marwa mengajukan gugatan dalam sidang banding di pengadilan Jerman karena dia dituduh “teroris” dan diperlakukan seolah-olah sebagai “warga negara kelas dua” (second class citizens) karena mengenakan hijab. Di sanalah tragedi itu terjadi, Marwa tidak mendapatkan keadilan yang dia tuntut, ia justru diserang dan dibunuh di depan suami dan anaknya yang turut hadir di ruang persidangan. Pada saat kejadian, 1 Juli 2009, Marwa berumur 31 tahun dan tengah mengandung tiga bulan.
Kepergian Marwa yang tragis tentu saja menyisakan luka mendalam. Marwa dibunuh ketika memperjuangkan hak dan keyakinannya sebagai seorang Muslimah. Bagi saya, kematian Marwa telah membuat statement tegas bagi kita semua bahwa, sekali lagi: Tak ada satupun orang yang berhak menghakimi keyakinan orang lain—apalagi bertindak teror dengan melukai hingga melenyapkan nyawa. Hari kematian Marwa, 1 Juli, juga banyak diperingati sebagai hari jilbab internasional, sebagai tribut untuk keberanian dan pengorbanannya. Tapi di atas semua itu, bagi saya, Marwa telah berjasa membuka mata masyarakat Muslim dunia bahwa di beberapa negara di mana Muslim adalah minoritas, hak-hak mereka perlu dilindungi dan diperjuangkan; Artinya mereka juga harus melindung dan menghargai hak-hak minoritas yang hidup di sekeliling mereka.
Hari ini, 4 September 2012, kita merayakan hari solidaritas hijab sedunia. Di Indonesia, saya sedih mendapati kata-kata atau poster yang menyatakan selebrasi ini sebagai bid’ah yang mengotori aqidah, saya sedih karena mereka ternyata a-historis dan tidak menyadari betapa pentingnya solidaritas ini untuk Muslim lainnya di mana mereka hidup sebagai minoritas. Saya juga sedih melihat sebagian Muslim(ah) dari kelompok tertentu dengan hijab panjang mengejek dan merendahkan Muslimah lainnya yang mengenakan hijab secara lebih trendy dan fashionable; Bahkan tersebar poster-poster digital dengan pesan yang menyatakan bahwa Tuhan mengutuk mereka yang “berjilbab gaul” dan mengancam mereka dengan neraka. Sungguh, saya sedih menyaksikan fakta bahwa di sini, di mana Muslim adalah Mayoritas, sebagian Muslim gagal memaknai dan menghargai kebebasan—bahkan terhadap sudara-saudaranya sendiri.
Berkebalikan dengan suara-suara minor kalangan tertentu yang mengutuk karena menganggap hijab trendy sebagai tindakan yang “salah” karena tidak syar’i (tidak sesuai dengan ajaran), saya justru berterima kasih kepada mereka—dan menyatakan apresiasi setinggi-tingginya. Pertama, tentu karena kesadaran mereka berjilbab saja sudah merupakan sebuah keputusan dan prestasi luar biasa.Tentu akan lebih baik jika mereka juga bisa memenuhi kaidah-kaidah syar'iyah-nya.
Kedua, karena merekalah sesungguhnya yang telah membuat hijab menjadi sesuatu yang lebih kosmopolit dan bisa diterima masyarakat luas. Terutama kepada mereka yang bekerja keras menjadikan hijab lebih fashionable, misalnya seperti dilakukan teman-teman Hijabers Community, saya berterima kasih dan menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya; Saya betul-betul antusias, tergerak sekaligus terharu, misalnya menyaksikan jerih payah mereka untuk mejadikan Indonesia sebagai pusat fashion Muslim dunia di tahun 2020. Boleh jadi, mungkin karena mereka jugalah brand-brand besar fashion dunia seperti Zara atau Channel mulai mempertimbangkan “hijab” sebagai produk fashion yang juga harus mereka keluarkan. Barangkali mereka jugalah yang telah membuat para Muslimah merasa bangga mengenakan hijab—dengan penuh percaya diri dan tak perlu merasa ketinggalan zaman.
Akhirnya, semoga hari ini, 4 September, memberikan pembelajaran baru bagi semua agar melihat segala sesuatu secara tidak kaku dan melalui perspektif yang lebih luas. Kepada semua Muslimah di seluruh dunia: Selamat merayakan hari solidaritas hijab sedunia. Dan terima kasih karena kalian luar biasa!
Copas by;
FAHD DJIBRAN | 4 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar